Kamis, 21 Mei 2009

Salon dan Beras - Beda di Belanda & Indonesia

Mengapa Salon tak Pernah Sepi?

Tidak usah heran bila harga beras mahal. Di Belanda pun harganya mahal. Bedanya, di Belanda makanan pokok dijual luarbiasa murahnya.

Lucu memang, beras kebutuhan utama tapi mendapatkannya kok sulit. Harga beras di Belanda juga selangit. Tidak aneh, sebab bukan merupakan makanan utama dan jelas barang impor.

Pemakan beras juga lebih banyak bangsa-bangsa pendatang yang memang dari sononya terbiasa makan beras. Sementara makanan pokok di Belanda sendiri kentang dan roti. Sampai sekarang belum sekalipun terbaca atau terdengar di media massa persoalan pelik menyangkut kentang maupun roti di negeri ini. Entah perdebatan harga, kebijakan pemerintah, apalagi stok kentang dan roti sampai hilang di pasaran.

Mau tahu berapa harga kentang dan roti? Belum sampai satu euro sudah bisa bawa pulang kentang dan roti seabrek-abrek. Rakyat tidak pernah membahas isu kelaparan (paling tidak begitu sampai hari ini). Petani kentang tak pernah mengeluh panen gagal, harga pupuk mahal dan segala tetek bengek lain yang bikin susah. Tukang roti tak bakal menggerutu harga tepung atau bahan dasar roti membubung.

Lalu kenapa di Indonesia justru mendapatkan kebutuhan pokok begitu sulit?

Sedikit melenceng. Saat menemani teman jalan-jalan di negeri tulip ini, tiba-tiba dia berkomentar setelah melewati beberapa salon kecantikan. Kenapa salon sepi-sepi saja. Sementara kalau di Indonesia, salon hampir ada di tiap sudut dan selalu ramai. Harus nunggu pula sebelum diladeni. Ada saja kegiatan di salon berjam-jam. Sekedar potong poni, creambath, ganti warna rambut, meluruskan atau mengeriting, lulur, facial bahkan iseng kikir-kikir kuku dan kaki.

Katanya lagi, dia saja kalau malas keramas di rumah langsung ke salon. Enak duduk tenang, dipijit dan keluar sedikit lebih segar dan cantik. Saya tidak heran karena juga pernah mengalami kehidupan serupa. Tapi selama di Belanda..wow.. nanti dulu. Belum tentu dalam 5 bulan saya menginjak salon. (kasihan ya…!) Ada undangan atau harus manggung pun berusaha dandan sendiri sebab urusan salon perlu merogoh kocek sampai dalam. Tidak seperti di Indonesia begitu banyak pilihan pelayanan dan harga.

Beberapa teman Belanda sendiri seringkali bikin janji rahasia sama tukang pangkas supaya dilayani di rumah saja. Bisa bayar lebih murah dan keuntungan pula buat si pekerja. Dapat uang ekstra tanpa dipotong pajak. Kalau cuma potong rambut anak-anak dengan model standard, rata-rata orang tua melakukan sendiri.

Mereka punya peralatan potong rambut. Atau informasi lewat teman-teman yang ahli potong, bolehlah saling bantu. Artinya, secara umum tidak begitu saja dengan mudah merogoh kocek sekedar ke salon.Meski ada juga teman lain kerjanya bolak-balik ke salon ganti warna rambut, ngecat kuku dan lain-lain.

Teman saya yang berlibur tadi mensyukuri dirinya tinggal di Indonesia karena bisa sering ke salon demi memanjakan tubuh. Saya katakan, "Tapi di Belanda orang tidak pernah mengeluh kelaparan."

"Apa hubungannya salon dan lapar," katanya spontan dan melotot.

"Sekadar hubungan kebutuhan hidup dan gaya hidup,"

jawab saya santai meski keder juga lihat biji matanya seperti mau keluar.

Di Belanda, orang tahu persis mana kebutuhan hidup dan gaya hidup. Di negeri kita sebaliknya. Banyak yang sulit (atau pura-pura tak tak perduli) membedakan mana gaya hidup dan kebutuhan hidup. Di negeri ini salon merupakan gaya hidup, makanya mahal. Tapi bahan makanan merupakan kebutuhan hidup sehingga harganya terjangkau. Orang bisa mati kalau tidak makan, tapi tidak akan ada yang terkapar biar rambutnya mencapai mata kaki atau kukunya hitam dan wajah tidak akan berubah jadi monster meski tidak di facial sebulan sekali.

Sebaliknya di tanah air, salon kecantikan sudah berubah fungsi. Entah itu demi alasan menunjang karir, sekedar memanjakan tubuh dan segala macam. Jadi lekat dengan kebutuhan, bukan lagi gaya hidup semata. Makanya murah dan terjangkau sebab para produsen berlomba menarik pelanggan. Sedangkan makan perlahan bergeser jadi gaya hidup.

"Ah...,kamu terlau sinis," protesnya dengan wajah lebih kusut dari sebelumnya.

"Barangkali memang saya sinis. Lalu jawab dong kenapa harga beras bisa mahal," pinta saya lembut.

"Itu salah pemerintah juga, Tidak perduli nasib rakyat, juga tidak ada subsidi. Bukan karena orang banyak ke salon," katanya ketus.

Dalam hati ini berteriak, "Saya juga tidak bilang karena banyak orang ke salon. Sekedar gambaran membedakan kebutuhan hidup dan gaya hidup. Dan masih banyak gambar selain salon. Ah.. bisa jadi gambaran saya memang keliru ya..he.he.he."

Lalu kenapa orang begitu sumringah, rela bayar mahal untuk fast food bahkan merasa lebih berkelas. Padahal di negara asal merupakan konsumsi rakyat bawah karena murah dan cepat. (tak usah dulu bicara soal gizi buruk). Buruh-buruh yang jam istirahat siangnya pendek terpaksa makan junk food alias cepat saji yang murah dan cepat tadi. Sebaliknya di negeri kita tercinta, fast food jadi gaya hidup mewah.

Simak pula di restoran seperti apa sepiring spaghetti atau pizza disajikan? Mewah dan mahal tentu saja. Sementara di Italia sendiri ’warung’ pizza dan spaghetti tidak istimewa. Lagi-lagi karena makanan impor, wajar bila mahal. Di Eropah merupakan menu harian, jadi tidak mahal juga wajar.


Lalu mau bilang apa bila menikmati menu ala Eropah tadi jadi ada yang merasa lebih gaya ? Karena mahal ? Dan yang dibayar tidak semata rasa makanannya, tapi juga suasananya. Gara-gara lihat saya di Belanda kalau baru gajian makan nasi dan saat mulai bokek makan kentang, spaghetti, steak dan segala jenis makan Eropa lain yang murah, banyak dan kenyang, teman saya ngotot lagi.


Kalau di Indonesia makanan Eropah mahal wajar saja, sebab makanan Indonesia di negeri orang juga begitu. Dalam hati sebenarnya tidak lagi mempersoalkan harga, tapi ketika makanan sudah jadi ’gaya’ hidup, bukan kebutuhan.

Namun melihat gelagat teman yang kebarat-baratan ini makin emosi, terpaksa menahan diri.


Persoalannya sekarang yang mengganjal pikiran, kenapa orang Eropa makan nasi yang nota bene barang impor dan mahal merasa biasa-biasa saja.

Tidak lantas menganggap diri lebih keren dari warga lain yang tetap makan kentang. Ah… sudahlah.., semua toh cuma sebuah pilihan. Silahkan putuskan harus pakai gaya apa. Semua sah saja.


Nah yang ganjil kenapa beras, makanan pokok bangsa sudah berabad bisa mahal dan sulit di dapat ya……? Apa barangkali makan beras sudah jadi gaya hidup pula. Bukan lagi kebutuhan hidup?

Mohon maaf, hanya bertanya lho tanpa ada keberpihakan.
(Ita Sembiring, ibu rumah tangga, tinggal di Belanda)

0 komentar:

Categories

Blog Archive

Sembako Hari ini

Sembako hari ini
Beras 5.500
Telur ayam ras 13.500
Minyak goreng sawit 12.000
Gula pasir 6.600
Tepung terigu 7.700
Cabe merah keriting 20.000
Cabe merah biasa 18.500
Bawang merah 16.500
SKM cap bendera 7.800
Daging sapi 55.500
Kacang tanah 12.500

 

Sumber: Poskota

Blog sahabat





Pages

About Me

Foto saya
Penulis tuk diri sendiri, Internal Audit untuk Sebuah Perusahaan, Pencinta Puisi, Cerpen, Seorang Hamba yang berusaha, Menjadi Ayah yang baik untuk Quineisha & Qhaira, menjadi Insan Taqwa

Pengikut

Sample Text

IP

Unordered List

Popular Posts

Recent Posts



Website Hit Counter
Free Hit Counters

Text Widget