Senin, 31 Maret 2008

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=195444


Bom Waktu Penganggur Sarjana
Oleh Misriadi


Senin, 24 Maret 2008
Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal mengungkapkan, setiap tahun lebih dari 1 juta lulusan perguruan tinggi tidak terserap dunia kerja alias menganggur. Diperkirakan jumlah itu meningkat pada 2007, karena data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Februari 2007 sudah menunjukkan angka 740.206 orang. Jumlah terbesar adalah dari lulusan universitas.

Harapan mendapat pekerjaan setelah lulusan perguruan tinggi selalu dibalut kekecewaan. Pasalnya, antara peluang dan pesaing tak seimbang. Optimisme memang harus dibangun, tetapi realitas yang ada pun tak bisa disembunyikan. Bahwa sederetan problem ketenagakerjaan yang menjadi penyakit lama negeri ini belum juga tampak ada tanda-tanda menuju kondisi yang lebih cerah dan menjanjikan. Sementara angka pengangguran di Indonesia telah mencapai 54% dari angkatan kerja, yakni sekitar 50 juta jiwa. Dari sejumlah itu, 60%-nya (sekitar 30 juta jiwa) adalah pengangguran terdidik, termasuk di dalamnya sarjana.

Kenapa bisa begitu banyak pengangguran? Banyaknya pengangguran ini paling tidak berpangkal pada tiga hal. Pertama, banyaknya angkatan kerja baru yang setiap tahun mengalir, namun tidak tertampung dalam dunia kerja. Keadaan demikian yang berlangsung terus-menerus telah menghasilkan tumpukan pengangguran. Ditambah lagi dengan persoalan kedua, yaitu adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga, kebanyakan orang tidak dapat berusaha mandiri akibat tidak memiliki modal, lahan maupun keahlian (skill) dan kesempatan.

Persoalan pertama dimungkinkan karena tidak seimbangnya penawaran tenaga kerja dengan kebutuhan. Bisa karena sempitnya lapangan kerja ataupun tidak sesuainya keahlian yang ditawarkan oleh pencari kerja dengan keahlian yang diperlukan dunia kerja. Selain itu, dunia pendidikan tidak menukik kepada persoalan yang praktis yang diperlukan dalam kehidupan.

Para sarjana yang menganggur itu kebanyakan adalah lulusan program studi non-eksakta (ilmu sosial, hukum, pendidikan dan politik). Menurut data, dari 2,2 juta mahasiswa Indonesia (1,6 juta di PTS, sisanya di PTN), 78% diantaranya menempuh kuliah di bidang studi pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, sedang 12% di bidang teknologi dan hanya 10% yang menempuh kuliah di bidang sains.

Proporsi di atas rupanya terbalik. Menurut beberapa pakar, program studi yang ditawarkan berkaitan dengan sains dan teknologi harus jauh lebih besar dibanding dengan program studi pendidikan dan sosial. Karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, yang dibutuhkan adalah pengembangan ilmu-ilmu eksakta, terutama bidang-bidang yang mampu menjawab tantangan industrialisasi. Jelas sekali bahwa pengangguran memang terkait dengan strategi pengembangan sumber daya manusia (SDM), disamping tidak bisa dilepaskan dari tatanan ekonomi yang dijalankan.

Tak bisa dipungkiri bahwa maju mundurnya ekonomi suatu negara tidak lepas dari seberapa jauh negara tersebut "menyelenggarakan" pengembangan SDM. Jepang yang 50 tahun lalu hancur akibat kalah perang, kini menjadi adikuasa ekonomi. Begitu juga dengan Malaysia yang pada thun 1970-an masih mengimpor guru dari Indonesia, kini memiliki GNP 4 kali lipat Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari kesungguhan mereka menggarap SDM.

Berbicara tentang SDM, apalagi dikaitkan dengan tenaga kerja terdidik, adalah tantangan nasional bagi dunia pendidikan kita, terutama perguruan tinggi. Sejak awal 90-an sebenarnya telah ada kebijakan Ditjen Dikti (Pendidikan Tinggi) yang secara langsung atau tidak langsung berupaya meningkatkan penerimaan tamatan perguruan tinggi oleh pengguna tenaga kerja (industri), yaitu adanya paradigma baru perguruan tinggi tentang otonomi, akuntabilitas, akreditasi, evaluasi dan mutu. Bahkan, dekade 80-an, pernah ada gagasan pendidikan kewirausahaan (entrepreunership), suatu proses yang kreatif yang merangsang dan mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pendidikan kewirausahaan diyakini mampu memberi kontribusi penting bukan hanya memberi andil dalam pembangunan ekonomi bangsa, tetapi juga membuat terobosan untuk mengatasi lapangan kerja yang makin sulit dalam situasi krisis dewasa ini. Apalagi, di tahun 1996 kita sebenarnya telah mencanangkan Gerakan Pemuda dalam Kewirausahaan. Peristiwa ini setidaknya menjadi sebuah momen yang seharusnya dapat memotivasi para pemuda untuk berwirausaha. Jiwa kewirausahaan ini perlu ditingkatkan karena selama ini wirausaha belum menjadi profesi bergengsi dalam kultur masyarakat Indonesia, khususnya pribumi.

Persoalannya sekarang bagaimana lulusan perguruan tinggi ini dapat berperan di dalamnya? Ada dua pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mempersiapkan para lulusan yang mampu terjun ke dunia wirausaha. Yaitu pendekatan struktural dan kultural. Pendekatan struktural berkaitan dengan institusi/perguruan tinggi sebagai pencetak lulusan yang berkualitas. Pihak institusi perlu segera mempertimbangkan sistem pendidikan yang diberlakukan. Sistem pendidikan tersebut perlu selalu berorientasi ke masa yang akan datang tanpa menafikan persoalan-persoalan yang sedang berkembang saat ini. Setelah diketahui inti permasalahannya barulah membahas program studi ataupun mata kuliah yang cocok untuk mendukung permasalahan tersebut.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan kultural, yaitu pendekatan yang dapat menumbuhkan sikap kemandirian, kepercayaan diri, jiwa kepemimpinan serta kepekaan terhadap lingkungan sehingga secara langsung atau tidak langsung akan menumbuhkan sikap kewirausahaan tanpa melupakan pihak atau golongan ekonomi lemah.

Dan yang lebih penting lagi adalah untuk dapat menjamin serta memberikan suasana dan iklim yang mendukung pengembangan kewirausahaan sebagai salah satu mata rantai perekonomian ini adalah bagaimana mewujudkan kemauan baik (good will) pemerintah/negara dalam menata kembali sistem perekonomiannya dengan menyadari bahwa sistem ekonomi Indonesia yang kapitalistik ini telah melahirkan banyak kesenjangan dan ketidakadilan.

Jadi, untuk mengatasi pengangguran mutlak diperlukan reformasi di bidang pendidikan dan tatanan ekonomi. Jika tidak segera dilakukan, di masa datang problem ini akan semakin berat, bahkan bukan mustahil akan menjadi bom waktu yang suatu ketika akan meledak. ***

Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi HARMONI, Bogor


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=195443


Kekayaan Sumber Daya Harus Menyejahterakan Rakyat


Senin, 24 Maret 2008
Sungguh melegakan bila benar lonjakan harga minyak bumi di pasar dunia tidak bakal membuat ekonomi nasional kolaps sebagaimana kata Wapres Jusuf Kalla saat berbicara dalam forum pertemuan saudagar Tatar Sunda di Bandung, kemarin.

Pernyataan itu melegakan karena hari-hari ini kita justru amat mencemaskan kemungkinan ekonomi nasional mengalami kolaps akibat harga minyak bumi terus-menerus naik hingga mencapai level yang tak pernah terbayangkan. Kita cemas karena boleh dikatakan kita trauma oleh krisis ekonomi-keuangan yang menerpa kita persis satu dasawarsa lalu.

Krisis ekonomi-keuangan itu memang sungguh terasa pahit dan menyengsarakan. Bukan saja ongkos pemulihan terbukti amat mahal, melainkan juga dampak krisis yang harus kita tanggung begitu berkepanjangan. Bahkan bagi kalangan tertentu, hingga sekarang dampak itu relatif masih terasa.

Jadi, amat beralasan masalah gejolak harga minyak bumi di pasar dunia belakangan ini serta-merta membuat kita miris dan cemas: bahwa ekonomi nasional berisiko kembali mengalami krisis dan kolaps. Terlebih lagi pemerintah sendiri justru terkesan gamang atau bahkan panik dalam menghadapi masalah terkait lonjakan harga minyak dunia ini. Paling tidak, kesan tersebut terlihat dari sikap labil pemerintah dalam menetapkan angka-angka asumsi ekonomi makro dalam APBN Perubahan 2008.

Tapi kesan itu coba diluruskan oleh Wapres Jusuf Kalla. Dia berupaya meyakinkan berbagai kalangan bahwa ekonomi nasional relatif aman. Meski harga minyak mentah di pasar dunia kini sudah melampaui 110 dolar AS per barel dan belum terlihat tanda-tanda segera meluncur turun kembali, ekonomi kita tak bakalan kolaps.

Benarkah? Kita sependapat dengan Wapres bahwa kita memiliki sumber energi lain yang relatif melimpah, khususnya gas alam dan batu bara. Sama seperti minyak bumi, harga gas alam dan batu bara di pasar dunia juga kini melangit.

Di luar potensi sumber daya energi, kita juga memiliki banyak sumber daya mineral lain yang juga tak kalah punya nilai jual tinggi. Ditambah sejumlah komoditas pertanian dan perkebunan, seperti karet atau minyak sawit, kekayaan sumber daya alam ini memang bisa membuat fondasi ekonomi kita kokoh kuat dalam menghadapi dampak gejolak ekonomi global.

Dikaitkan dengan gejolak harga minyak mentah sekarang, itu berarti ekonomi kita memang tak perlu sampai tertohok, apalagi kolaps. Tekanan harga minyak bumi tak mesti menjadi faktor yang mengakibatkan ekonomi kita semaput. Bahkan, seharusnya, gejolak harga minyak bumi menjadi durian runtuh yang menyejahterakan kehidupan ekonomi kita sebagai bangsa.

Tetapi, faktanya, tidak seindah itu. Gejolak harga minyak bumi di pasar global terbukti tak menjadi durian runtuh bagi ekonomi nasional. Memang, tampaknya, gejolak itu tak bakal sampai membuat ekonomi kita kolaps. Namun gejolak tersebut tak urung merepotkan ekonomi kita. Sampai-sampai Menkeu sempat berkeluh-kesah bahwa APBN terancam menjadi tidak sehat karena gejolak harga minyak bumi membuat subsidi BBM melonjak hebat.

Begitu pula komoditas lain. Gejolak harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional selama hampir setahun terakhir, misalnya, membuat rakyat kebanyakan menjerit didera kesengsaraan akibat harga minyak goreng melejit. Dalam konteks ini, berkah kenaikan harga CPO praktis hanya dinikmati kalangan petani sawit, produsen, serta eksportir CPO.

Jelas, kenyataan itu tak semestinya terjadi kalau saja kita pandai mengelola sumber daya alam. Ini tidak hanya merujuk pada aspek teknis penggalian dan pengolahan sumber daya menjadi komoditas bernilai secara ekonomi, melainkan terutama terkait aspek distribusi manfaat. Dalam kaitan ini, kita masih harus belajar sungguh-sungguh agar berbagai sumber daya yang kita miliki benar-benar menjadi faktor yang melahirkan kesejahteraan bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Artinya, berkah ekonomi berbagai sumber daya yang kita miliki benar-benar bisa dinikmati relatif merata oleh segenap anak bangsa.


Categories

Blog Archive

Sembako Hari ini

Sembako hari ini
Beras 5.500
Telur ayam ras 13.500
Minyak goreng sawit 12.000
Gula pasir 6.600
Tepung terigu 7.700
Cabe merah keriting 20.000
Cabe merah biasa 18.500
Bawang merah 16.500
SKM cap bendera 7.800
Daging sapi 55.500
Kacang tanah 12.500

 

Sumber: Poskota

Blog sahabat





Pages

About Me

Foto saya
Penulis tuk diri sendiri, Internal Audit untuk Sebuah Perusahaan, Pencinta Puisi, Cerpen, Seorang Hamba yang berusaha, Menjadi Ayah yang baik untuk Quineisha & Qhaira, menjadi Insan Taqwa

Pengikut

Sample Text

IP

Unordered List

Popular Posts

Recent Posts



Website Hit Counter
Free Hit Counters

Text Widget