JAKARTA, KOMPAS.com —Kisruh
KPK dan Polri dinilai menyimpan motif kekuasaan yang sangat kental. Pada
saat bersemangat memberantas korupsi, tiba-tiba KPK dihambat dengan
kriminalisasi yang sistematis. Pimpinan KPK dilaporkan telah terlibat
sejumlah persoalan hukum.
"Ini tidak berdiri sendiri. Tentu ada motif kekuasaan yang ingin diraih," kata Direktur Emrus Corner, Emrus Sihombing, Selasa (27/1/2015).
Partai penguasa dinilainya tak terima dengan semangat KPK yang getol memberantas korupsi di tingkat elite. Mereka ingin agar kepentingannya melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri berjalan mulus.
Emrus menjelaskan, ada orang-orang penentu di baliknya. Mereka adalah pemimpin parpol pengusung Jokowi pada pilpres kemarin. Kemudian, ada individu yang kuat dan berpengaruh. Di PDI-P, ada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Di Nasdem, ada Surya Paloh. Kemudian, ada Jusuf Kalla dan sejumlah figur yang dinilainya cukup menjadi sorotan dalam kasus ini. "Mereka disebut 'king maker'," imbuh Emrus.
Mereka memang menjadi penyokong Jokowi untuk menang pada pilpres kemarin. Namun, mereka tak perlu mengatur jalannya pemerintahan saat ini. "Soal Kapolri misalnya, boleh saja mengusulkan, tetapi tak boleh memaksa. Biarkan Presiden menentukan dengan bijak," imbuh Emrus.
Pemilihan kepala Polri selama ini terlalu politis karena melibatkan banyak pihak. Secara normatif, Kompolnas memberi penilaian. Namun, secara politis, ada kekuatan politik yang dimainkan para "king maker" untuk menentukan nama-nama kepala Polri. "Akhirnya, banyak yang tersita untuk kepentingan politik ini," kata Emrus.
Pihaknya mengimbau agar semua pihak berkepala dingin dalam menyikapi situasi yang ada. Jangan sampai kekisruhan antara Polri dan KPK semakin diperuncing lagi. Keduanya harus bisa berdampingan agar penegakan hukum berjalan dengan baik.
---------
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memperkuat tim independen yang ia tugaskan untuk melerai kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri dengan merekrut dua anggota baru. Dengan demikian, anggota tim kini berjumlah sembilan orang--selanjutnya disebut Tim 9.
Tim tersebut akan bekerja dengan payung keputusan presiden. Selama 30 hari, Tim 9 akan mencari fakta di balik perkara Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Tim menyatakan tak akan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. “Tapi untuk hal-hal baru bisa dicegah, seperti kriminalisasi baru. Jadi, jangan melebar dulu,” kata anggota tim, Jimly Asshiddiqie, Selasa 27 Januari 2015.
Jimly mengatakan hal tersebut sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi. Presiden, kata dia, meminta kasus Bambang dan Budi diusut secara transparan. “Kalau kasus yang baru-baru stoplah,” ujarnya. Setelah Bambang dijadikan tersangka, seluruh pemimpin KPK yang tersisa juga dilaporkan ke polisi. KPK terancam tanpa pemimpin bila polisi menjadikan mereka semua tersangka walaupun dengan bukti-bukti yang minim.
Bekas Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana tak sependapat dengan Jimly. Menurut guru besar hukum Universitas Gadjah Mada itu, kasus Bambang Widjojanto pun harus dihentikan karena jelas kriminalisasi. “Tim harus bisa menghentikan kasus BW agar tak meluas,” ujar Denny. Adapun kasus Budi Gunawan tak bisa dihentikan. Sebab, selain KPK tak punya kewenangan menghentikan, bukti perkara itu dinilai sangat kuat.
Bersamaan dengan itu, Presiden Jokowi pun diminta membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. “Ini sesuatu yang tak terpisahkan karena kisruh bermula dari pencalonan Budi sebagai calon tunggal Kapolri,” ujar Denny. Presiden, kata dia, mesti segera melakukan proses ulang pemilihan calon Kapolri baru.
Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Badan Reserse Kriminal Polri pada Jumat lalu. Ia dituduh memerintahkan saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Ketika itu Bambang adalah kuasa hukum salah satu kandidat. Penetapan tersangka dinilai sebagai serangan balik polisi setelah KPK terlebih dulu menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan korupsi.
Walau sejumlah saksi telah membuyarkan tuduhan kepada Bambang, Mabes Polri berkukuh meneruskan penyidikan. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Rikwanto, menyatakan sangat kecil kemungkinan kasus dihentikan. “Semua syarat terpenuhi, syarat untuk diteruskan atau proses hukum,” kata Rikwanto.
Dalam kasus yang mendera dua pemimpin KPK terdahulu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, perkara dihentikan di Kejaksaan Agung. Jaksa Agung mengesampingkan perkara tersebut demi hukum, atau dideponir. Juru bicara Kejaksaan, Tony Spontana, enggan berkomentar ihwal itu. “Surat perintah dimulainya penyidikan dari polisi saja baru kami terima,” ujar dia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, meminta polisi tak serampangan menetapkan pemimpin KPK sebagai tersangka. “Bisa habis pemimpin KPK,” ujarnya. Sebagaimana Denny Indrayana, Topo menyarankan agar polisi mengusut kasus pemimpin KPK setelah mereka tak lagi menjabat. “Kalau DPR dan Ombudsman saja punya impunitas, masak KPK yang menghadapi koruptor tak punya?” ujar Denny.
"Ini tidak berdiri sendiri. Tentu ada motif kekuasaan yang ingin diraih," kata Direktur Emrus Corner, Emrus Sihombing, Selasa (27/1/2015).
Partai penguasa dinilainya tak terima dengan semangat KPK yang getol memberantas korupsi di tingkat elite. Mereka ingin agar kepentingannya melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri berjalan mulus.
Emrus menjelaskan, ada orang-orang penentu di baliknya. Mereka adalah pemimpin parpol pengusung Jokowi pada pilpres kemarin. Kemudian, ada individu yang kuat dan berpengaruh. Di PDI-P, ada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Di Nasdem, ada Surya Paloh. Kemudian, ada Jusuf Kalla dan sejumlah figur yang dinilainya cukup menjadi sorotan dalam kasus ini. "Mereka disebut 'king maker'," imbuh Emrus.
Mereka memang menjadi penyokong Jokowi untuk menang pada pilpres kemarin. Namun, mereka tak perlu mengatur jalannya pemerintahan saat ini. "Soal Kapolri misalnya, boleh saja mengusulkan, tetapi tak boleh memaksa. Biarkan Presiden menentukan dengan bijak," imbuh Emrus.
Pemilihan kepala Polri selama ini terlalu politis karena melibatkan banyak pihak. Secara normatif, Kompolnas memberi penilaian. Namun, secara politis, ada kekuatan politik yang dimainkan para "king maker" untuk menentukan nama-nama kepala Polri. "Akhirnya, banyak yang tersita untuk kepentingan politik ini," kata Emrus.
Pihaknya mengimbau agar semua pihak berkepala dingin dalam menyikapi situasi yang ada. Jangan sampai kekisruhan antara Polri dan KPK semakin diperuncing lagi. Keduanya harus bisa berdampingan agar penegakan hukum berjalan dengan baik.
---------
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memperkuat tim independen yang ia tugaskan untuk melerai kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri dengan merekrut dua anggota baru. Dengan demikian, anggota tim kini berjumlah sembilan orang--selanjutnya disebut Tim 9.
Tim tersebut akan bekerja dengan payung keputusan presiden. Selama 30 hari, Tim 9 akan mencari fakta di balik perkara Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Tim menyatakan tak akan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. “Tapi untuk hal-hal baru bisa dicegah, seperti kriminalisasi baru. Jadi, jangan melebar dulu,” kata anggota tim, Jimly Asshiddiqie, Selasa 27 Januari 2015.
Jimly mengatakan hal tersebut sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi. Presiden, kata dia, meminta kasus Bambang dan Budi diusut secara transparan. “Kalau kasus yang baru-baru stoplah,” ujarnya. Setelah Bambang dijadikan tersangka, seluruh pemimpin KPK yang tersisa juga dilaporkan ke polisi. KPK terancam tanpa pemimpin bila polisi menjadikan mereka semua tersangka walaupun dengan bukti-bukti yang minim.
Bekas Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana tak sependapat dengan Jimly. Menurut guru besar hukum Universitas Gadjah Mada itu, kasus Bambang Widjojanto pun harus dihentikan karena jelas kriminalisasi. “Tim harus bisa menghentikan kasus BW agar tak meluas,” ujar Denny. Adapun kasus Budi Gunawan tak bisa dihentikan. Sebab, selain KPK tak punya kewenangan menghentikan, bukti perkara itu dinilai sangat kuat.
Bersamaan dengan itu, Presiden Jokowi pun diminta membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. “Ini sesuatu yang tak terpisahkan karena kisruh bermula dari pencalonan Budi sebagai calon tunggal Kapolri,” ujar Denny. Presiden, kata dia, mesti segera melakukan proses ulang pemilihan calon Kapolri baru.
Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Badan Reserse Kriminal Polri pada Jumat lalu. Ia dituduh memerintahkan saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Ketika itu Bambang adalah kuasa hukum salah satu kandidat. Penetapan tersangka dinilai sebagai serangan balik polisi setelah KPK terlebih dulu menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan korupsi.
Walau sejumlah saksi telah membuyarkan tuduhan kepada Bambang, Mabes Polri berkukuh meneruskan penyidikan. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Rikwanto, menyatakan sangat kecil kemungkinan kasus dihentikan. “Semua syarat terpenuhi, syarat untuk diteruskan atau proses hukum,” kata Rikwanto.
Dalam kasus yang mendera dua pemimpin KPK terdahulu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, perkara dihentikan di Kejaksaan Agung. Jaksa Agung mengesampingkan perkara tersebut demi hukum, atau dideponir. Juru bicara Kejaksaan, Tony Spontana, enggan berkomentar ihwal itu. “Surat perintah dimulainya penyidikan dari polisi saja baru kami terima,” ujar dia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, meminta polisi tak serampangan menetapkan pemimpin KPK sebagai tersangka. “Bisa habis pemimpin KPK,” ujarnya. Sebagaimana Denny Indrayana, Topo menyarankan agar polisi mengusut kasus pemimpin KPK setelah mereka tak lagi menjabat. “Kalau DPR dan Ombudsman saja punya impunitas, masak KPK yang menghadapi koruptor tak punya?” ujar Denny.
0 komentar:
Posting Komentar