Pembatasan Premium Ciptakan Moral Hazard
TEMPO Interaktif, Jakarta:Rencana pemerintah mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak jenis premium oktan 88 ke oktan 90 dinilai hanya akan menciptakan moral hazard (penyimpangan yang menimbulkan kerugian lebih besar). Hal tersebut terkait masih lemahnya pengawasan yang dilakukan aparat pemerintah, khususnya Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Pengamat perminyakan Kurtubi menyatakan, rencana pengalihan tersebut hanya akan akan menciptakan moral hazard. Sebab, dalam rencana tersebut pemerintah akan menetapkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mana saja yang boleh menjual premium. "Bahkal banyak pengemudi kendaraan yang mengisi premium dan menjual kembali kepada konsumen untuk mencari keuntungan, siapa yang bisa mengawasi," ujarnya kepada Tempo, Kamis (6/12).
Menurut dia, sampai sekarang pemerintah, khususnya BPH Migas tak mampu mengawasi penyalahgunaan bahan bakar minyak yang terjadi di masyarakat. Sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, BPH Migas bertanggungjawab mengawasai penyaluran dan pendistribusian bahan bakar minyak sampai ke konsumen di seluruh Indonesia.
Kurtubi mengungkapkan, selain moral hazard, pemotongan pasokan premium dipastikan akan menciptakan antrian kendaraan pada SBPU yang menjual premium. Dia mencontohkan, tentang program konversi minyak tanah elpiji beberapa waktu lalu. "Kisruh dimana-mana dan Pertamina terpaksa memasok kembali minyak tanah ke masyarakat," katanya.
Untuk mengurangi subsidi, kata dia, pemerintah bisa melakukan kebijakan kenaikan harga bahan bakar secara berkala. "Caranya dengan menaikan harga Rp 100 per liter setiap bulan," ujarnya. Dengan cara ini beban yang ditanggung konsumen tak terlalu berat.
Anggota Komite BPH Migas Adi Subagyo mengatakan, pengawasan penjatahan premiun akan dilakukan dengan kartu pintar (smart card) dan ditempel pada setiap kendaraan. "Premium hanya diberikan kepada angkutan umum dan kendaraan roda dua," katanya.
BPH Migas, kata dia, memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan jika terjadi moral hazard. "Anggota kami hanya 20 orang," ujarnya. Adi tak menampik terjadinya penyimpangan dalam program pembatasan premium di masyarakat.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Maxensius Tri Sambodo mengatakan, dampak kenaikan harga minyak pada 2005 terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat. “Ditandai dengan turunnya porsi konsumsi beras dan lauk pauk,” ujarnya kepada Tempo.
Sektor transportasi mengalami dampak paling parah dengan penurunan jumlah penumpang dan armada. "Sedangkan nelayan mengalami penurunan tingkat kesejahteraan akibat kenaikan biaya melalut," katanya.
Menurut Tri Sambodo, jika rencana pengurangan premium dilaksanan dipastikan akan menimbulkan dampak pada inflasi. "konsumsi masyarakat juga bakal turun," katanya
ALI NUR YASIN
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/12/07/brk,20071207-113068,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta:Rencana pemerintah mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak jenis premium oktan 88 ke oktan 90 dinilai hanya akan menciptakan moral hazard (penyimpangan yang menimbulkan kerugian lebih besar). Hal tersebut terkait masih lemahnya pengawasan yang dilakukan aparat pemerintah, khususnya Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Pengamat perminyakan Kurtubi menyatakan, rencana pengalihan tersebut hanya akan akan menciptakan moral hazard. Sebab, dalam rencana tersebut pemerintah akan menetapkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mana saja yang boleh menjual premium. "Bahkal banyak pengemudi kendaraan yang mengisi premium dan menjual kembali kepada konsumen untuk mencari keuntungan, siapa yang bisa mengawasi," ujarnya kepada Tempo, Kamis (6/12).
Menurut dia, sampai sekarang pemerintah, khususnya BPH Migas tak mampu mengawasi penyalahgunaan bahan bakar minyak yang terjadi di masyarakat. Sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, BPH Migas bertanggungjawab mengawasai penyaluran dan pendistribusian bahan bakar minyak sampai ke konsumen di seluruh Indonesia.
Kurtubi mengungkapkan, selain moral hazard, pemotongan pasokan premium dipastikan akan menciptakan antrian kendaraan pada SBPU yang menjual premium. Dia mencontohkan, tentang program konversi minyak tanah elpiji beberapa waktu lalu. "Kisruh dimana-mana dan Pertamina terpaksa memasok kembali minyak tanah ke masyarakat," katanya.
Untuk mengurangi subsidi, kata dia, pemerintah bisa melakukan kebijakan kenaikan harga bahan bakar secara berkala. "Caranya dengan menaikan harga Rp 100 per liter setiap bulan," ujarnya. Dengan cara ini beban yang ditanggung konsumen tak terlalu berat.
Anggota Komite BPH Migas Adi Subagyo mengatakan, pengawasan penjatahan premiun akan dilakukan dengan kartu pintar (smart card) dan ditempel pada setiap kendaraan. "Premium hanya diberikan kepada angkutan umum dan kendaraan roda dua," katanya.
BPH Migas, kata dia, memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan jika terjadi moral hazard. "Anggota kami hanya 20 orang," ujarnya. Adi tak menampik terjadinya penyimpangan dalam program pembatasan premium di masyarakat.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Maxensius Tri Sambodo mengatakan, dampak kenaikan harga minyak pada 2005 terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat. “Ditandai dengan turunnya porsi konsumsi beras dan lauk pauk,” ujarnya kepada Tempo.
Sektor transportasi mengalami dampak paling parah dengan penurunan jumlah penumpang dan armada. "Sedangkan nelayan mengalami penurunan tingkat kesejahteraan akibat kenaikan biaya melalut," katanya.
Menurut Tri Sambodo, jika rencana pengurangan premium dilaksanan dipastikan akan menimbulkan dampak pada inflasi. "konsumsi masyarakat juga bakal turun," katanya
ALI NUR YASIN
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/12/07/brk,20071207-113068,id.html